Pada hakikatnya studi yang hendak dikemukakan Ini adalah suatu studi
tentang sebuah upaya politik yang sadar untuk melaksanakan
transplantasi budaya, ditingkah oleh kebijakan yang mendesakkan
alternative untuk mengupayakan penggabungan budaya dengan segala
keberhasilan dan kegagalan. Perkembangan kekuasaan colonial di jawa
berlangsung dalam kurun waktu lebih dari satu abad. Yang pertama pada
tahun 1840 – 1950 dan yang berlanjut dengan proses – proses modifikasi
serta adaptasinya guna untuk kepentingan pembanguna suatau Negara yang
lebih maju pada masa – masa selanjutnya yaitu pada tahun 1945 – 1990.
Dimana kajian ini pada dasarnya studi tentang perubahan – perubahan
politik yang terjadi dalam perkembangan hukum di Indonesia selama satu
setengah abad (1840 – 1990), sekaligus juga bagian suatu perkembangan
dari hukum kolonial ke hokum nasional.
Sebagaimana yang terjadi pada era kolonial sebelumnya — bukanlah
suatu proses yang otonom, melainkan suatu proses yang banyak tertuntut
untuk secara fungsional mengikuti perkembangan politik, khususnya tentu
saja politik yang bersangkut-paut dengan kebijakan dan upaya pemerintah
untuk mendayagunakan hukum guna meraih tujuan-tujuan yang tak selamanya
berada di ranah hukum dan/atau ranah keadilan.
Karena penuh dinamika sejarah dan beragam, maka perkembangan sistem
dan tata hukum di Indonesia dibagi ke dalam tiga periode besar
diantaranya pada tahun 1840 – 1890, 1890 – 1940, dan yang terakhir 1940 –
1990.
Perkembangan tata hukum Indonesia yang pertama pada periode 1840 –
1890 adalah menggambarkan perkembangan hukum yang ada sangat dipengaruhi
oleh kebijakan – kebijakan liberalisme Tahun 1840-1860 adalah kurun
waktu yang penting, yang menandai berubahnya kebijakan pemerintah
kolonial terhadap daerah jajahan di Hindia-Belanda. Eksploitasi daerah
jajahan yang tidak dilandasi rasa kemanusiaan—mula-mula dilakukan oleh
serikat dagang yang bernama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), kemudian oleh pemerintah kolonial melalui proyek Cultuurstelsel—melahirkan
kesadaran baru di ranah politik di negeri Belanda. Kesadaran baru
tersebut mewujud di dalam diri kaum liberal yang mengupayakan sebuah
penataan hukum kolonial secara sadar yang dilandasi asas kebebasan (liberté), kesamaan (egalité), dan persaudaraan (fraternité) sebagaimana yang diperjuangkan di dalam Revolusi Perancis (1889).
Dalam sejarahnya, sistem hukum Prancis (Codes Napoleon) [2]
pernah berlaku di negeri Belanda. Karena dipandang tidak mencerminkan
citarasa kebangsaan Belanda, sistem hukum ini kemudian diganti dengan
sistem hukum baru. Pada tanggal 15 Juli 1830, diundangkanlah Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dengan sebah Koninklijk Besluit.
Pada waktu yang bersamaan, diundangkan pula Kitab Undang-undang Hukum
Dagang, Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata, dan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana. Pada saat itu Kitab Undang-undang Hukum Pidana
belum dapat dibentuk, sehingga Code Penal warisan Napoleon
masih di berlakukan di Belanda. Kitab-kitab ini dipersiapkan sejak lama
oleh Panitia Kemper, dan baru dinyatakan berlaku pada tahun 1838 ketika
penduduk bagian selatan memerdekakan diri dan menjadi negara baru yang
bernama Belgia. Kendati sudah ada hukum baru yang berlaku di negeri
Belanda, hukum yang berlaku bagi orang Eropa di Hindia Belanda masih
berupa ordonansi-ordinansi, intruksi-instruksi eksekutif, dan
maklumat-maklumat yang diundangkan secara lepas.
Upaya kodifikasi hukum di Hindia-Belanda bagi penduduk Eropa tetap
diupayakan. Dalam rangka ini, raja Belanda mengutus beberapa ahli hukum
untuk menjajaki kemungkinan pemberlakuan sistem hukum Eropa di
Hindia-Belanda, misalnya G.C. Hageman, Scholten van Oud-Harleem, dan
H.L. Wichers. Pada tanggal 30 April 1847, diundangkanlah KUHPer dan KUHD
di dalam Stb. 1847 No. 23. Para puak Liberal mendorong agar Kitab
Undang-undang ini diberlakukan juga bagi golongan pribumi.
Lahirnya Grondwet 1848 (konstitusi negeri Belanda) dan Regeringsreglement 1854 (konstitusi bagi Hindia-Belanda) semakin memuluskan perjuangan kelompok liberal untuk menegakkan supremasi hukum (the supreme law of state/rechtsstaat)
di Hindia-Belanda. Dengan adanya kedua produk perundang-undangan ini,
di satu sisi kekuasaan eksekutif di tanah jajahan semakin dibatasi,
sedangkan di sisi lain, kebebasan masyarakat yang ada di tanah jajahan
pun mendapatkan jaminan hukum. Grondwet 1848 pada asasnya
mengatur bahwa peraturan-peraturan hukum yang diperlukan untuk
pemerintahan daerah jajahan harus dibuat dalam bentuk undang-undang (wet); tidak mencukupi apabila peraturan-peraturan tersebut hanya diatur dalam bentuk Keputusan Raja (Koninklijk Besluit/KB). Regeringsreglement 1854
(selanjutnya disingkat RR) memiliki tiga pasal penting yang sangat
menentukan arah perkembangan hukum di Hindia-Belanda, yaitu pasal 79,
pasal 88, dan pasal 89. Pasal 79 RR mengandung asas trias-politica yang
menghendaki agar kekuasaan peradilan diserahkan ke tangan hakim yang
bebas; pasal 88 RR mengharuskan dilaksanakannya asas legalitas [3] dalam
setiap proses pemidanaan; pasal 89 RR melarang pemidanaan yang
menyebabkan seseorang kehilangan hak perdatanya. Ketiga pasal RR ini
merupakan simbol normatif bagi perlawanan terhadap kesewenangan lembaga
eksekutif di tanah jajahan.
Persoalan unifikasi hukum sebagaimana yang dicita-citakan kaum
liberal tidak dapat diterapkan dengan mudah. Situasi masyarakat yang
majemuk dan pertimbangan besarnya biaya yang harus dikeluarkan
pemerintah kolonial, menjadi rintangan pemberlakuan hukum kodifikasi
Belanda di tanah jajahan. Dualisme hukum tetap hidup di masyarakat. Di
satu sisi, hukum Belanda masih berlaku bagi golongan Eropa, sedangkan di
sisi lain, sebagian besar masyarakat lokal masih tunduk terhadap
hukumnya sendiri. Dualisme hukum yang berlaku di Hindia-Belanda tidak
menyurutkan perjuangan politisi liberal untuk memperjuangkan unifikasi
hukum.
Selanjutnya, atas dasar Algemeene Bepalingen [4] (berkekuatan KB) pasal 9 jo. pasal 75 ayat 3 RR, diupayakanlah apa yang disebut dengan vrijwillige onderweping dan toepasselijk verklaring. Vrijwillige onderweping
merupakan upaya hukum yang diberikan kepada golongan pribumi untuk
menundukkan diri kepada hukum perundang-undangan yang berlaku untuk
golongan Eropa. Sedangkan toepasselijk verklaring adalah
kewenangan Gubernur Jenderal untuk menerapkan peraturan
perundang-undangan Eropa tertentu (jika dianggap perlu) kepada golongan
pribumi. Bagi politisi liberal, kemajuan dalam peraturan
perundang-undangan merupakan berita gembira karena terwujudnya cita-cita
unifikasi hukum sudah berada di depan mata. Namun, hal ini merupakan
momok bagi hukum masyarakat pribumi karena kehancurannya sudah ada di
depan mata.
Perkembangan politik hukum kolonial pada kurun waktu 1860-1890
ditandai oleh dua hal, yaitu a) langkah konkret kaum liberal untuk
memberlakukan hukum Eropa di Hindia-Belanda melalui produk
perundang-undangan demi memajukan perekonomian Hindia-Belanda, dan b)
permasalahan seputar konflik budaya (dan juga kehidupan hukum) antara
golongan Eropa dan golongan pribumi sebagai akibat dari adanya perbedaan
alam pikiran dalam berbagai segi kehidupan, khususnya ekonomi,
pemerintahan, dan hukum.
Asas-asas hukum yang telah dipositifkan melalui Grondwet 1848
dan RR 1854 diyakini banyak membantu kaum liberalis untuk segera
mewujudkan proyek unifikasi hukum yang diusungnya. Kendatipun demikian
dibutuhkan sekitar tiga dasawarsa sejak diundangkannya RR 1854 untuk
dapat merealisasikan ide-ide tentang ketatanegaraan di tanah jajahan.
Dalam upaya realisasi ide-ide ini, muncul seorang tokoh liberalis, yaitu
Fransen Van de Putte, yang menekan pemerintah untuk segera menghentikan
usaha-usaha perkebunan negara dan memberikan peluang sebesar-besarnya
bagi usaha swasta untuk mengambil alih bidang tersebut. Tentu saja Van
de Putte tidak menyetujui jika pemerintah terlibat langsung dalam dunia
perdagangan. Van de Putte yang berhasil menduduki jabatan Menteri Koloni
di dalam kabinet partai Liberal dengan Perdana Menteri Thorbecke, terus
berupaya menyusun dan mengintroduksi sejumlah rancangan peraturan
perundang-undangan tentang tata guna tanah (Cultuurwet) untuk memajukan perusahaan-perusahaan perkebunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar