Rabu, 20 Agustus 2014

perkembangan hukum di Indonesia

Pada hakikatnya studi yang hendak dikemukakan  Ini adalah suatu studi tentang sebuah upaya politik yang sadar untuk melaksanakan transplantasi budaya, ditingkah oleh kebijakan yang mendesakkan alternative untuk mengupayakan penggabungan budaya dengan segala keberhasilan dan kegagalan. Perkembangan kekuasaan colonial di jawa berlangsung dalam kurun waktu lebih dari satu abad. Yang pertama pada tahun 1840 – 1950 dan yang berlanjut dengan proses – proses modifikasi serta adaptasinya guna untuk kepentingan pembanguna suatau Negara yang lebih maju pada masa – masa selanjutnya yaitu pada tahun 1945 – 1990. Dimana kajian ini pada dasarnya studi tentang perubahan – perubahan politik yang terjadi dalam perkembangan hukum di Indonesia selama satu setengah abad (1840 – 1990), sekaligus juga bagian suatu perkembangan dari hukum kolonial ke hokum nasional.
Sebagaimana yang terjadi pada era kolonial sebelumnya — bukanlah suatu proses yang otonom, melainkan suatu proses yang banyak tertuntut untuk secara fungsional mengikuti perkembangan politik, khususnya tentu saja politik yang bersangkut-paut dengan kebijakan dan upaya pemerintah untuk mendayagunakan hukum guna meraih tujuan-tujuan yang tak selamanya berada di ranah hukum dan/atau ranah keadilan.
Karena penuh dinamika sejarah dan beragam, maka perkembangan sistem dan tata hukum di Indonesia dibagi ke dalam tiga periode besar diantaranya pada tahun 1840 – 1890, 1890 – 1940, dan yang terakhir 1940 – 1990.
Perkembangan tata hukum Indonesia yang pertama pada periode 1840 – 1890 adalah menggambarkan perkembangan hukum yang ada sangat dipengaruhi oleh kebijakan – kebijakan liberalisme  Tahun 1840-1860 adalah kurun waktu yang penting, yang menandai berubahnya kebijakan pemerintah kolonial terhadap daerah jajahan di Hindia-Belanda. Eksploitasi daerah jajahan yang tidak dilandasi rasa kemanusiaan—mula-mula dilakukan oleh serikat dagang yang bernama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), kemudian oleh pemerintah kolonial melalui proyek Cultuurstelsel—melahirkan kesadaran baru di ranah politik di negeri Belanda. Kesadaran baru tersebut mewujud di dalam diri kaum liberal yang mengupayakan sebuah penataan hukum kolonial secara sadar yang dilandasi asas kebebasan (liberté), kesamaan (egalité), dan persaudaraan (fraternité) sebagaimana yang diperjuangkan di dalam Revolusi Perancis (1889).
Dalam sejarahnya, sistem hukum Prancis (Codes Napoleon) [2] pernah berlaku di negeri Belanda. Karena dipandang tidak mencerminkan citarasa kebangsaan Belanda, sistem hukum ini kemudian diganti dengan sistem hukum baru. Pada tanggal 15 Juli 1830, diundangkanlah Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sebah Koninklijk Besluit. Pada waktu yang bersamaan, diundangkan pula Kitab Undang-undang Hukum Dagang, Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pada saat itu Kitab Undang-undang Hukum Pidana belum dapat dibentuk, sehingga Code Penal warisan Napoleon masih di berlakukan di Belanda. Kitab-kitab ini dipersiapkan sejak lama oleh Panitia Kemper, dan baru dinyatakan berlaku pada tahun 1838 ketika penduduk bagian selatan memerdekakan diri dan menjadi negara baru yang bernama Belgia. Kendati sudah ada hukum baru yang berlaku di negeri Belanda, hukum yang berlaku bagi orang Eropa di Hindia Belanda masih berupa ordonansi-ordinansi, intruksi-instruksi eksekutif, dan maklumat-maklumat yang diundangkan secara lepas.
Upaya kodifikasi hukum di Hindia-Belanda bagi penduduk Eropa tetap diupayakan. Dalam rangka ini, raja Belanda mengutus beberapa ahli hukum untuk menjajaki kemungkinan pemberlakuan sistem hukum Eropa di Hindia-Belanda, misalnya G.C. Hageman, Scholten van Oud-Harleem, dan H.L. Wichers. Pada tanggal 30 April 1847, diundangkanlah KUHPer dan KUHD di dalam Stb. 1847 No. 23. Para puak Liberal mendorong agar Kitab Undang-undang ini diberlakukan juga bagi golongan pribumi.
Lahirnya Grondwet 1848 (konstitusi negeri Belanda) dan Regeringsreglement 1854 (konstitusi bagi Hindia-Belanda) semakin memuluskan perjuangan kelompok liberal untuk menegakkan supremasi hukum (the supreme law of state/rechtsstaat) di Hindia-Belanda. Dengan adanya kedua produk perundang-undangan ini, di satu sisi kekuasaan eksekutif di tanah jajahan semakin dibatasi, sedangkan di sisi lain, kebebasan masyarakat yang ada di tanah jajahan pun mendapatkan jaminan hukum. Grondwet 1848 pada asasnya mengatur bahwa peraturan-peraturan hukum yang diperlukan untuk pemerintahan daerah jajahan harus dibuat dalam bentuk undang-undang (wet); tidak mencukupi apabila peraturan-peraturan tersebut hanya diatur dalam bentuk Keputusan Raja (Koninklijk Besluit/KB). Regeringsreglement 1854 (selanjutnya disingkat RR) memiliki tiga pasal penting yang sangat menentukan arah perkembangan hukum di Hindia-Belanda, yaitu pasal 79, pasal 88, dan pasal 89. Pasal 79 RR mengandung asas trias-politica yang menghendaki agar kekuasaan peradilan diserahkan ke tangan hakim yang bebas; pasal 88 RR mengharuskan dilaksanakannya asas legalitas [3] dalam setiap proses pemidanaan; pasal 89 RR melarang pemidanaan yang menyebabkan seseorang kehilangan hak perdatanya. Ketiga pasal RR ini merupakan simbol normatif bagi perlawanan terhadap kesewenangan lembaga eksekutif di tanah jajahan.
Persoalan unifikasi hukum sebagaimana yang dicita-citakan kaum liberal tidak dapat diterapkan dengan mudah. Situasi masyarakat yang majemuk dan pertimbangan besarnya biaya yang harus dikeluarkan pemerintah kolonial, menjadi rintangan pemberlakuan hukum kodifikasi Belanda di tanah jajahan. Dualisme hukum tetap hidup di masyarakat. Di satu sisi, hukum Belanda masih berlaku bagi golongan Eropa, sedangkan di sisi lain, sebagian besar masyarakat lokal masih tunduk terhadap hukumnya sendiri. Dualisme hukum yang berlaku di Hindia-Belanda tidak menyurutkan perjuangan politisi liberal untuk memperjuangkan unifikasi hukum.
Selanjutnya, atas dasar Algemeene Bepalingen [4] (berkekuatan KB) pasal 9 jo. pasal 75 ayat 3 RR, diupayakanlah apa yang disebut dengan vrijwillige onderweping dan toepasselijk verklaring. Vrijwillige onderweping merupakan upaya hukum yang diberikan kepada golongan pribumi untuk menundukkan diri kepada hukum perundang-undangan yang berlaku untuk golongan Eropa. Sedangkan toepasselijk verklaring adalah kewenangan Gubernur Jenderal untuk menerapkan peraturan perundang-undangan Eropa tertentu (jika dianggap perlu) kepada golongan pribumi. Bagi politisi liberal, kemajuan dalam peraturan perundang-undangan merupakan berita gembira karena terwujudnya cita-cita unifikasi hukum sudah berada di depan mata. Namun, hal ini merupakan momok bagi hukum masyarakat pribumi karena kehancurannya sudah ada di depan mata.
Perkembangan politik hukum kolonial pada kurun waktu 1860-1890 ditandai oleh dua hal, yaitu a) langkah konkret kaum liberal untuk memberlakukan hukum Eropa di Hindia-Belanda melalui produk perundang-undangan demi memajukan perekonomian Hindia-Belanda, dan b) permasalahan seputar konflik budaya (dan juga kehidupan hukum) antara golongan Eropa dan golongan pribumi sebagai akibat dari adanya perbedaan alam pikiran dalam berbagai segi kehidupan, khususnya ekonomi, pemerintahan, dan hukum.
Asas-asas hukum yang telah dipositifkan melalui Grondwet 1848 dan RR 1854 diyakini banyak membantu kaum liberalis untuk segera mewujudkan proyek unifikasi hukum yang diusungnya. Kendatipun demikian dibutuhkan sekitar tiga dasawarsa sejak diundangkannya RR 1854 untuk dapat merealisasikan ide-ide tentang ketatanegaraan di tanah jajahan. Dalam upaya realisasi ide-ide ini, muncul seorang tokoh liberalis, yaitu Fransen Van de Putte, yang menekan pemerintah untuk segera menghentikan usaha-usaha perkebunan negara dan memberikan peluang sebesar-besarnya bagi usaha swasta untuk mengambil alih bidang tersebut. Tentu saja Van de Putte tidak menyetujui jika pemerintah terlibat langsung dalam dunia perdagangan. Van de Putte yang berhasil menduduki jabatan Menteri Koloni di dalam kabinet partai Liberal dengan Perdana Menteri Thorbecke, terus berupaya menyusun dan mengintroduksi sejumlah rancangan peraturan perundang-undangan tentang tata guna tanah (Cultuurwet) untuk memajukan perusahaan-perusahaan perkebunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar